Dari jauh agak kedekatan, Ku pandangi orang-orang yang akan
melewati pintu itu, satu per satu ku lihat. Mereka hanyalah orang biasa, mereka
berpakaian robek.
Ada yang robeknya di atas, ada yang robeknya di dalam,
Ada juga yang robeknya banyak, ada juga yang robeknya
sedikit.
Ada yang robeknya kecil, ada yang robeknya besar.
Ada yang robeknya kelihatan, ada yang robeknya tersembunyi.
Ada yang robeknya hampir semuanya, ada yang robek sebagian.
Ada yang robeknya tidak mau diperbaiki, ada yang robeknya bisa
diperbaiki
Ada yang robeknya parah, ada yang robeknya tidak parah.
Aku juga berencana masuk ke pintu itu, namun aku tidak dapat masuk
karena aku berpakaian robek. Akhirnya aku menunggu di luar sambil melihat lalu
lalang orang-orang itu. pikiranku berjalan bolak-balik, kenapa aku tidak dapat
masuk? Aku bandingkan dengan dia yang robeknya lebih parah dari aku, aku
bandingkan dengan dia yang robeknya lebih besar dari aku, aku bandingkan dengan
dia yang robeknya lebih banyak dari aku.
Aku protes!
Kakiku ingin melangkah protes, seperti panas terik dengan deruan
ombak bertubi-tubi dan berkejar-kejaran ingin sampai dahulu hingga ke tepi.
Namun di antara awal dan akhir, Dia memegang lenganku dan tersenyum. Dalam
ketidaksadaran aku sadar akan senyum itu.
Aku.. aku telah menjadi penghakim diantara. Aku merasa diri
layak dan lebih layak dibandingkan para orang berpakaian robek lainnya. Aku
pikir aku lebih baik dari mereka.
Aku tertunduk memandang sobekan pakaianku. Angin berhembus membuat
rambutku berterbangan, seluruh badanku terasa segar oleh hempasan angin
tersebut, angin masuk dalam telinga dan
seakan berbisik lembut “semuanya berpakaian robek”.
-d^^-